Shaf dan Keutamaannya
Shaf dalam shalat berjamaah telah diatur dalam Islam, bahwa shaf bagi laki-laki ditempatkan di bagian depan dan merupakan shaf yang paling mulia, adapun shaf bagi perempuan maka posisinya di bagian belakang, karena memang tempat yang paling mulia bagi prempuan adalah di bagian belakang. Islam telah mengatur pemisahan antara laki-laki dan perempuan untuk shalat berjamaah, dan juga sebagai hikmah yang bisa dipetik untuk kehidupan keseharian kita, misalnya di sebuah sekolah yang di ruang kelasnya bercampur antara laki-laki dan prempuan, maka baiknya laki-laki duduk di bagian depan dan perempuan duduk di bagian belakang.
Disebutkan dalam hadits bahwa, “Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari)”. Shaf pertama juga dalam salah satu hadits disebutkan seperti “shafful malaaikah” (seperti shafnya malaikat) (Lihat Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah) maksudnya shaf yang paling dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka seorang jamaah hendaknya bersungguh-sungguh untuk masuk ke dalam shaf-shaf terdepan, jika tidak bisa di bagian paling depan, maka minimal setelahnya dan begitu seterusnya.
Posisi imam dan makmum dalam shalat berjama’ah
Jumhur ulama menyebutkan bahwa syarat sah shalat berjamaah adalah minimal 2 orang, ada imam dan ada makmun. Adapun posisi imam dan makmum jika sholat berjamaah berdua maka sejajar, sebagaimana Ibnu Abbas pernah berkata “Saya pernah menginap di rumah Maimunah (bibi Ibnu Abbas dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tahajud, aku pun menyusul beliau dan berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkanku ke sebelah kanan, sejajar.” (H.R. Bukhari dan Muslim)”. Begitulah posisi orang yang melakukan shalat berjamaah dengan jumlah 2 orang, yaitu Imam berada di sebelah kiri dan makmum berada di sebelah kanan, dan tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa makmum posisinya di belakang sedikit dari Imam, yang benar dan paling kuat di antara pendapat yang ada adalah makmum lurus dengan imam jika hanya berdua.
Apabila wanita menjadi makmumnya (imam laki-laki), maka posisi wanita berada di belakang imam bukan di sampingnya. Sebagaimana disebutkan oleh Anas ra, ia berkata, bahwa beliau shalat di belakang Rasulullah bersama seorang yatim sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang mereka (HR Bukhari dan Muslim). Maka cara shalatnya adalah, laki-laki di depan dan perempuan di belakang, jika datang seorang makmum laki-laki 1 orang maka dia langsung berada di samping Imam. Namun jika jumlahnya lebih dari satu jamaah laki-laki, maka seperti biasanya laki-laki berada di belakang Imam dan perempuan tetap berada di belakang shaf laki-laki. Jika jamaah dan imamnya perempuan, maka posisi imam tersebut berada di tengah-tengah shaf pertama dan bukan di depan. (Lihat Sunan Kubra Al-Baihaqy 3/131)
Adapun jika kondisi masjid sudah penuh dan sudah tidak terdapat lagi tempat untuk shalat sedangkan imam di samping kanannya Adapun jika kondisi masjid sudah penuh dan sudah tidak terdapat lagi tempat untuk shalat sedangkan imam di samping kanannya masih kosong, maka makmum boleh maju mengisi tempat kosong tersebut di samping kanan imam, asal imamnya tetap berada di sebelah kiri. Jika sudah penuh juga, maka dibolehkan untuk menjadi makmum di luar masjid asal makmum yang di luar tersebut masih bisa melihat shaf yang berada di dalam masjid, dengan demikian masih terhitung sebagai shalat berjamaah. Adapun jika shaf tersebut terlalu jauh dan makmum tidak bisa melihat dan mengikuti gerakan shaf yang ada di dalam masjid, maka hal tersebut tidak terhitung sebagai shalat berjamaah.
Hitungan rakaat bagi yang masbuk
Seorang yang masbuk datang melaksanakan shalat berjamaah yang kemudian mendapati imam masih dalam keadaan rukuk dan masih sempat mendapatkan bacaan subhana rabbi al’adzim, maka Ia Masih dihitung mendapatkan 1 rakaat. Ukuran yang paling minim seorang jamaah mendapatkan satu rakaat, yaitu pada saat seorang makmum mendapati imam masih dalam keadaan rukuk. Maka tidak boleh seorang makmum yang masbuk mendapati seorang imam sudah rukuk, lalu ia sendiri menyempurnakan bacaan al-fatihanya, yang benar adalah langsung mengikuti gerakan imam. Jika mendapati imam sedang rukuk, maka ia bertakbiratul ihram dan bersedakap, lalu kemudian bertakbir lagi untuk rukuk mengikuti imam. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,‘Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya”. (Muttafaqun ‘alaihi) Namun jika ia rukuk dan pada saat yang sama imam bangkit dari rukuk dan kemudian tidak sempat bertemu antara rukuknya dengan rukuk imam, maka tidak dihitung sebagai 1 rakaat. 1 rakaat dihitung jika ia masih bisa rukuk bersama imam dan masih sempat membaca subhana rabbi al’adzim.
Jika seorang masbuk tertinggal beberapa rakaat, maka ia mengerjakan atau menyempurnakan rakaatnya setelah salam imam, dan setiap 2 rakaat yang dikerjakannya dihitung mulai dari bergabungnya bersama jama’ah maka dia bertasyahud. Karena makmum jika ikut pada seorang imam, maka semua gerakan shalat imam harus diikuti, nanti setelah imam mengucapkan salam, maka seorang makmum yang masbuk akan berdiri menyempurnakan rakaat yang tertinggal.
Mendapatkan shalat jama’ah
Menurut pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Mazhab Malikiyah, seorang mendapatkan sholat berjamaah jika mendapatkan minimal 1 rakaat bersama dengan Imam. Namun jika makmum itu datang terlambat kemudian mendapati Imam sujud terakhir atau tasyahud akhir tidak ada lagi rakaat yang ia dapatkan, maka sebagian ulama mengatakan bahwa tidak mendapatkan sholat berjamaah dan dia disebut shalat sendiri. Adapun pendapat Mazhab Hanafiah dan Syafi’iah menyebutkan bahwa ia tetap mendapatkan sholat jamaah. Pada intinya, seorang hendaknya bersemangat untuk ikut sholat berjamaah, apa saja yang ia dapati dari Imam maka ikutilah, dan yang kurang dari apa yang dia dapati sempurnakanlah.