Akhir-akhir ini persoalan al-Maidah: 51 masih belum reda. Pasca turunnya massa umat islam berunjuk rasa menuntut agar Gubernur DK Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera diproses hukum. Hal tersebut tidak lain disebabkan pernyataannya di kepulauan Seribu yang menurut massa tersebut menistakan al-Qur’an dan Ulama.
Beberapa waktu yang lalu, setelah menemui Kabareskrim Polda Metro Jaya, massa yang dipimpin oleh ulama dan habaib menuntut agar segera dilakukan pemeriksaan dan keberlanjutan proses hukum. Namun hingga ditemui berikutnya oleh Ulama dan Habaib, ternyata muncul ungkapan yang mengejutkan. “Pemeriksaan Ahok menunggu izin dari Presiden”. Hal yang aneh dari pihak penegak keadilan di negeri kita.
Hal tersebut juga sudah dibantah oleh Mahfud MD bahwa dalam proses pemeriksaan Kepala Daerah, tidak memerlukan izin dari Presiden. Sebab OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan KPK atas beberapa anggota DPR maupun Kepala Daerah tidak perlu dikonfirmasi langsung kepada Presiden.
Hal menarik kemudian adalah apa sebenarnya substansi dari QS al-Maidah: 51 ?. Meski juga viral perdebatan tentang makna Awliyaa’, kita bisa melihat apa kandungan dari QS al-Maidah secara umum.
Sebab ternyata jika dikaji, puluhan tahun yang lalu, Prof. Dr. Hamka telah memperingatkan dalam tafsir beliau terkait QS al-Maidah. Bahwa sebagai muslim, kita sepatutnya tidak meninggalkan transaksi kita dengan Allah. Beliau menyebutkan,
Sebagai Muslim, janganlah kita melalaikan hukum Allah. Sebab, di awal surah Al-Maaidah sendiri yang mula-mula diberi peringatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud (janji). Maka, menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting diantara kita dengan Allah. Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah boleh sekali-kali kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekadar apa yang kita dapat capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan beban kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Allah belum jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zalim, fasiklah kita kalau kita pecaya bahwa ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah.[1]
Pesan tersebut sangatlah mendalam. Sebab seakan-akan jawaban dari Ulama Indonesia tersebut sudah menjadi jawaban dari apa yang dibahas di dunia maya kini.
Bahwa sepantasnya seorang muslim menyempurnakan aqad-aqad mereka. Agar mereka tidak khianat dan melalaikan tugas dan tanggung jawab dalam setiap pekerjaan. Dan lebih dari itu, aqad yang paling mendasar dari hidup seorang muslim adalah aqadnya dengan Allah. Bahwa ia hanya akan menyembah Allah Azza Wajalla semata hingga akhir hidupnya.
Begitu pula sebagai muslim, kita seharusnya tidak kehilangan kacamata sebagai seorang muslim. Al-Qur’an yang diimani harus dibela, jika ternyata dihina dan dicela. Karena itu, memang pantas bahwa persoalan penistaan al-Qur’an tersebut bukanlah hal sepele. Karena ia mencakup sisi keimana seseorang kepada Allah.
Karena kalua saja aqad dunia, mereka berusahan memenuhinya, lalu bagaimana lagi dengan aqad yang telah ia sepakati dengan Rabb-Nya sebelum ia lahir kedunia ini ?. Wallohu a’lam bi ash-Showab.
[1] http://www.eramuslim.com/islamic-quotes/hai-pemimpin-tegakkan-hukum-allah-adalah-sebuah-janji-anda-kepada-allah.htm#.WBAomH0nVBB