Pentingnya Mengkaji Sejarah Sains
Sejarah Islam sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sains. Sebab Islam hadir dalam panggung peradaban dunia pernah memegang otoritas tertinggi dalam kajian sains dan teknologi. Sebuah lembaga penelitian yang bernama CIPSI (Center for Islamic philosophical studies and information) yang dipimpin oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara telah menginventarisasi setidaknya ditemukan tidak kurang dari 756 ilmuwan Muslim terkemuka yang memiliki konstribusi dalam perkembangan sains dan pemikiran filsafat. Daftar ini baru tahap awal, dan tidak termasuk di dalamnya ribuan ‘ulama’ dalam disiplin ilmu-ilmu syari’at.
Dalam banyak rujukan buku sekarang, biasanya sejarah sains disebutkan dimulai sejak zaman Yunani Kuno kira-kira 550 SM pada masa Phytagoras, kemudian meredup pada zaman Hellenistik sekitar 300 SM yang dipenuhi mitos dan tahayul, kemudian bangkit kembali pada masa Renaissance sekitar abad 14-17 M hingga saat ini. Dengan ‘historisme’ seperti itu, sejarah sains berarti “hilang” selama lebih dari 1500 tahun. Apa yang terjadi selama rentang 15 abad tersebut ?. Di situlah sains di dunia islam justru berkembang dashyat.
Meski biasanya, ketika dibahas tentang sejarah, sebagian umat muslim memandang usaha untuk mengungkap sejarah sains dan penemuan ilmuwan Muslim sebagai usaha nostalgia belaka. “Untuk apa mengenang sejarah?”, katanya. Padahal, usaha untuk menemukan ‘akar sejarah’ bagi sebuah peradaban adalah keharusan untuk membangun kembali peradaban tersebut.
Salah satu contoh yang menunjukkan hal tersebu adalah saat kita ditanya, “Apa yang kita pikirkan pertama kali jika mendengar kata kamera”?. Perkembangan kamera justru tidak bisa dilepaskan dari jasa seorang ahli fisika eksperimentalis pada abad ke-11, yaitu Ibn al-Haytham. Ia adalah seorang pakar optik dan pencetus metode eksperimen. Bukunya tentang teori optik, al-Manazhir (book of optics) atau Ibn Sahl, khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snellius dalam bentuk yang lebih matematis. Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga dipengaruhi oleh al-Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal. Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton dan Galileo Galilei, menggabungkan teori al-Haytham dengan temuan mereka. Juga teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna cahaya yang ditemukan oleh Newton, juga telah diungkap oleh al-Haytham abad ke-11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14. Al-Haytham dikenal juga sebagai pembuat perangkat yang disebut sebagai Camera Obscura atau “pinhole camera”. Kata “kamera” sendiri, konon berasal dari kata “qamara“, yang bermaksud “yang diterangi”. Kamera al-Haytham memang berbentuk bilik gelap (al-bayt al-mudzlim) yang diterangi berkas cahaya dari lubang di salah satu sisinya. Dalam alat optik, ilmuwan Inggris, Roger Bacon (1292) menyederhanakan bentuk hasil kerja al-Haytham, tentang kegunaan lensa kaca untuk membantu penglihatan, dan pada waktu bersamaan kacamata dibuat dan digunakan di Cina dan Eropa.
Jika demikian, kita bisa berkesimpulan bahwa dalam rentang ‘kekosongan sejarah’ dalam catatan sejarah sains barat, dunia Islam justru sangat berkembang. Hal itu menunjukkan betapa sains dalam Rahim peradaban islam diasuh dan dikembangkan. Selain pengaruh seperti Bahasa di atas, banyak ilmu yang diserap oleh Peradaban Barat dan diperkenalkan pada kita hari ini. Seperti institusi penelitian dan pendidikan. Dan semua itu tidak bisa dilepaskan dari karakteristik ajaran islam yang sangat memuliakan ilmu pengetahuan.
Mengapa Sains berkembang di Dunia Islam ?
Ada banyak aspek yang menyebabkan sains dan komunitas ilmuwan berkembang, namun sekurang – kurangnya dapat dirangkum pada tiga faktor utama yang saling berkaitan: pertama, adanya suatu worldview dari masyarakatnya yang mendukung. Worldview ini dapat berupa suatu pandangan hidup, agama, filosofi, dan lain-lain. Kedua, adanya apresiasi dari masyarakat, yakni sikap dan penghargaan masyarakat terhadap para ilmuwan. Ketiga, adanya patronase dan dukungan berupa kebijakan dari para penguasa. Mari kita kaji satu persatu.
Pertama, dorongan sebuah worldview dalam kemajuan sains merupakan unsur paling penting. Dalam Islam, worldview ini terpancar dari sumber utamanya yakni al-Qur’Én dan Sunnah. Motif agama dalam mempelajari sains ini dapat kita temui dari pengakuan seorang ilmuwan terkemuka al-Khawarizmi:
“Agamalah yang mendorong saya menyusun karya tulis singkat dalam hal hitungan dengan memakai prinsip operasi hitung seperti penambahan dan pengurangan, yang bermanfaat untuk pengguna aritmatika, biasa diibaratkan para pria yang terlibat dalam persoalan benda pusaka, warisan, perkara hukum, dan perdagangan serta dalam segala kesepakatan kerja atau yang bertalian dengan pengukuran dalamnya tanah, penggalian kanal, perhitungan geometri dan segala jenis objek dan yang ditekuninya.”
Para ilmuwan muslim pada umumnya tidak pernah menjadikan harta dan jabatan sebagai tujuan untuk pencarian ilmu. Sebaliknya, harta dan jabatan adalah sarana untuk pencarian ilmu. Ibnu Rusyd, Ibn Hazm, dan Ibn Khaldun adalah ilmuwan yang berasal dari keluarga kaya. Kekayaannya tidak menghentikan mereka dalam pencarian ilmu. Sebaliknya, al-Jahidz, Ibn Siddah, Ibn Baqi, al-Bajji, adalah beberapa contoh ilmuwan yang miskin, namun kemiskinan tidak menghalangi kegairahan mereka terhadap ilmu. Jadi jelas bahwa harta dan kekayaan bukan tujuan mereka, ada dan tidak adanya harta tidak mengurangi gairah mereka terhadap ilmu. Ada suatu motif yang lebih luhur dalam pencarian mereka terhadap ilmu. Sikap dan pandangan para ilmuwan Islam ini tentu lahir dari sebuah konsep tentang ilmu, lebih luas lagi dari sebuah pandangan hidup, yakni worldview Islam.
Kedua, sikap masyarakat yang menghargai ilmu dan ilmuwan sesungguhnya lahir dari masyarakat yang sadar akan pentingnya ilmu. Sekali lagi, dorongan ini pun lahir dari motif agama. Penghormatan (adab) mereka yang khas terhadap ‘ulama’ merupakan sesuatu yang unik dan sulit ditemui dalam masyarakat manapun, penghormatan yang bukan berasal dari pengkultusan individu, namun berasal dari suatu kesadaran akan mulianya ilmu dan mereka yang membawanya. Sebagai contoh ketika Imam al-Razi mendatangi Herat untuk berceramah, seluruh penduduk kota menyambutnya dengan sangat meriah bagaikan suatu hari raya, dan masjid raya pun penuh sesak dipenuhi jama‘ah yang hendak mendengarkannya.[7] Ini menunjukkan betapa besar penghargaan masyarakat kepada seorang ilmuwan. Masyarakat pada umumnya sangat antusias menyaksikan suatu ceramah umum, diskusi, debat terbuka, dan forum-forum ilmiah yang dibuka untuk umum. Para orang tua sangat ingin menjadikan anaknya sebagai ‘ulama’, dan hal itu merupakan cita-cita yang paling mulia. Banyak diantara para ‘ulama’ yang sudah dititipkan kepada ‘ulamÉ’ terkemuka sejak mereka masih sangat kecil dengan harapan agar anaknya menjadi seorang ilmuwan terkemuka.
Dalam peradaban Islam, ilmu sangat ditekankan. Seorang dinilai dan dihargai sesuai dengan kapasitas ilmunya. Bahkan demikian banyak ulama yang justru diikuti dan didengarkan oleh masyarakat dibanding Penguasa. Ulama menduduki posisi sentral dalam struktur sosial masyarakat Islam.
Ketiga, peran dukungan atau patronase dari penguasa, misalnya berupa dana, merupakan halyang tidak bisa diabaikan. Imam Asy-Syafi‘i dalam ad-Diwaan pun menegaskan bahwa salah satu syarat untuk memperoleh ilmu adalah adanya harta untuk memenuhi fasilitas penuntut ilmu. Bentuk-bentuk patronase yang dialami oleh ilmuwan muslim adalah : undangan untuk memberikan orasi ilmiah di istana dan didengarkan oleh para penguasa; pembangunan sarana pendidikan seperti akademi, observatorium, perpustakaan, rumah sakit, madrsah, dll; penyelenggaraan event ilmiah seperti seminar; pemberian beasiswa; pemberian insentif pada karya-karya para ilmuwan.
Ketiga faktor di atas, jika ditelisik lebih dalam sebenarnya bermuara pada suatu semangat ilmiah yang bersumber dari suatu pandangan hidup tertentu. Suatu pandangan hidup yang meletakkan ilmu di posisi yang amat mulia, sehingga tak pantas jika seseorang melakukan pencarian ilmu semata-mata untuk mencari harta dan jabatan. Pandangan hidup itu ialah tidak lain dari Islam.
Disadur dari Makalah “Sains dan Islam: Sejarah, Konsep, dan Masa Depan”, Oleh: Mohamad Ishaq (Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, PIMPIN), Disampaikan dalam acara Muslim Scientist Institute : Restorasi Kejayaan Ilmuan Muslim, ITB Bandung April 2011.