Seseorang dibolehkan untuk mengganti shalatnya pada beberapa keadaan, sebagaimana hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam barangsiapa yang lupa shalat, atau terlewat karena tertidur, maka kafarahnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat’ (HR. Muslim no. 684). Maka hadis ini dengan tegas membolehkan seseorang mengerjakan shalat di luar waktunya dengan 2 keadaan:
Pertama; saat dia lupa dengan shalatnya karena suatu urusan yang menyibukkan (seperti bencana, keadaan darurat, operasi, dan lainnya), maka saat teringat dan waktu sholat telah lewat, dia dibolehkan untuk mengganti (qadha) shalat yang ditinggalkan dengan jumlah rakaat yang sama dan dengan niat qadha’ shalat yang dilupakan.
Kedua; orang yang ketiduran ketika terbangun sedang waktu sholat telah lewat, misalnya tidur ketika menjelang dzuhur (karena kelelahan) tertidur sampai datang waktu ashar. Maka shalat dzuhur tersebut diganti (qadha) dan boleh menjamaknya dengan sholat ashar. Begitu juga jika ketiduran di waktu subuh tanpa sengaja sampai masuk waktu dhuha atau matahari telah terbit yang menunjukkan waktu subuh telah lewat. Maka tatkala terbangun seharusnya Ia langsung melaksanakan sholat dua rakaat sebagai qadha’ shalat subuh yang ditinggalkan karena ketiduran.
Adapun orang gila jika telah sadar ataupun anak yang telah baligh maka tidak punya kewajiban mengganti shalat yang tidak dikerjakannya pada saat dia gila ataupun saat dia belum baligh karena pada waktu tersebut tidak ada kewajiban baginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah diangkat pena dari tiga golongan: anak kecil hingga ia baligh, dari orang gila sampai ia sadar, dan orang tidur hingga ia bangun.” (H.R Tirmidzi). Adapun bagi yang ketiduran meskipun tidak berdosa dengan lewatnya waktu shalat namun ada hadits secara khusus yang telah disebutkan diatas tentang kewajiban menggantinya ketika terbangun, maka hal ini dikecualikan dengan dua keadaan sebelumnya .
Meninggalkan shalat karena sengaja
Orang yang meninggalkan shalat karena sengaja, maka para Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengganti shalatnya, sebagian mengatakan boleh diqadha’ dan sebagian lagi mengatakan bahwa tidak boleh diganti karena ditinggalkan dengan sengaja. Pendapat yang paling kuat adalah, shalat yang ditinggalkan dengan sengaja adalah perbuatan dosa besar kepada Allah dan diharuskan bertaubat dengan berjanji untuk tidak lagi meninggalkan shalat dan memperbanyak shalat Sunnah untuk menutupi berbagai kekurangan shalatnya.
Qadha’ shalat bagi orang gila dan perempuan yang haid
Orang yang gila kemudian sembuh (sadar) maka sholat yang tidak dikerjakan selama sakitnya (gila) tidak perlu untuk diganti (qadha’), cukup mengerjakan shalat sebagaimana biasanya setelah sembuh. Ketika waktu sadarnya mendekati shalat magrib, maka para ulama mengatakan bahwa dia tetap wajib untuk melaksanakan shalat ashar jika waktu yang didapatkannya masih mencukupi kadar satu raka’at. Begitu juga bagi perempuan yang haid, ketika suci dari haidnya berada di akhir waktu (zhuhur) misalnya meskipun hanya beberapa menit, maka dia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan shalat yang sudah hampir habis waktunya tersebut. Contoh lainnya ketika seorang perempuan suci dari haid ketika waktu menjelang matahari terbit, namun berpotensi mendapatkan 1 rakaat sholat subuh sebelum waktunya berakhir, maka dia tetap punya kewajiban mengerjakan sholat subuh dengan rakaat yang sempurna.
Qadha bagi orang pingsan
Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya jika telah sadar? Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat -radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka mereka mengqadha (shalatnya). Adapun jika masanya melebihi tiga hari, maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah yang sudah disebutkan di atas. (Lihat: Fatwa-Fatwa Penting tentang Shalat: 32)
Urutan dalam menqadha Shalat
Jika seseorang tidak melakukan shalat pada waktunya -zuhur misalnya-, kemudian dia baru ingat saat shalat Ashar sedang dilaksanakan, apakah dia ikut berjamaah dengan niat Ashar atau dengan niat Zuhur? Atau shalat Zuhur sendirian dahulu kemudian shalat Ashar? Apakah maksudnya ucapan para fuqaha’ “Jika dikhawatirkan shalat yang sedang ada waktunya tidak dapat dilakukan maka gugurlah urutannya” apakah kekhawatiran tidak mendapatkan jama’ah menggugurkan urutan shalat?
Yang benar menurut syariat bagi orang yang mengalami hal tersebut, hendaknya dia shalat bersama jamaah dengan niat shalat Zuhur meskipun jama’ah lain berniat shalat ashar, kemudian setelah itu dia mengerjakan shalat Ashar, karena wajibnya menjaga urutan shalat (Zuhur didahulukan dari Ashar dan seterusnya), dan hal tersebut tidak gugur hanya karena khawatir tidak mendapatkan jamaah.
Adapun ucapan para fuqaha’ -rahimahumullah- “jika dikhawatirkan keluarnya waktu shalat yang ada maka gugurlah urutannya” maksudnya adalah jika waktu shalat tersebut sempit dan dikhawatirkan waktunya akan habis maka shalat yang sedang ada waktunya tersebut didahulukan, misalnya: Seseorang belum melakukan shalat Isya, dan dia baru ingat sesaat sebelum terbitnya matahari namun pada saat itu dia belum shalat Shubuh, maka dia shalat Shubuh dahulu sebelum hilang waktunya, karena waktu tersebut telah ditetapkan untuk shalat Shubuh, setelah itu dia mengqadha shalatnya. (Lihat: Fatwa-Fatwa Penting tentang Shalat: 18)