Mungkin bagi beberapa orang –terutama yang belum atau yang tidak pernah merasakan kehamilan, menganggap bahwa ‘turut merasakan’ kepayahan selama kehamilan cukup dengan mencoba menenteng sebuah beban di perut dalam satuan beberapa kilogram. Nyatanya, kehamilan bukan hanya tentang itu. Peristiwa yang melibatkan fungsi hormonal ini menyangkut banyak hal lain yang bukan hanya tentang beratnya menenteng perut yang semakin hari semakin membuncit. Lebih dari itu, ada perasaan mual yang kadang terasa begitu mengganggu, ada pening atau oleng di kepala yang bisa datang kapan saja, ada pula sisi emosional yang kerap kali begitu gampang teraduk-aduk sehingga episode kehamilan menjadi penuh dengan drama. Kesemuanya itu, tidak akan pernah benar-benar dirasakan oleh orang lain secara nyata dan tepat, kecuali oleh ibu hamil itu sendiri.
Belum lagi tentang proses persalinan yang mempertaruhkan nyawa. Seorang ibu harus merasakan rasa sakit yang tidak tertanggungkan saat harus menjalani tugas ini. Sebuah amanah besar yang Allah takdirkan kepada kaum yang seringkali dianggap lemah secara fisik. Mohammad Fauzil Adhim, salah seorang pakar parenting di Indonesia, menuliskan dalam bukunya “Segenggam Iman Anak Kita” tentang hikmah dari rasa sakit yang dirasakan oleh seorang perempuan yang tengah menjalani proses kehamilan. Ia mengutip catatan dari Dr. Denis Walsh dari Nottingham University dalam sebuah jurnal Evidence Based Midwifery (Kebidanan Berbasis Bukti) bahwa rasa sakit dalam persalinan merupakan sesuatu yang mempunyai tujuan, penuh manfaat, memiliki sangat banyak keuntungan, misalnya mempersiapkan seorang ibu untuk mengemban tanggung jawab mengasuh bayi yang baru lahir.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (١٥)
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaf:15)
Dan itu semua tentu saja bukan hanya tentang seorang ibu, namun juga idealnya melibatkan peran seorang ayah. Seorang suami yang tengah mendampingi istrinya melalu proses hamil dan melahirkan itu diharapkan mampu mengemban tugasnya dengan sangat baik. Bukan hanya menyiapkan materi dan memberikan nafkah berupa nominal tertentu untuk mencukupi kebutuhan sang istri. Namun juga selalu siap siaga dengan segenap perhatian dan empati sehingga memberikan rasa nyaman kepada pasangannya, yang kerap kali bahkan tidak merasa nyaman dengan dirinya sendiri saat menjalani proses ini.
Menyaksikan sang istri harus memikul dan menjalani hari-hari yang berat dalam masa kehamilan, lalu mempertaruhkan nyawanya di ruang persalinan sudah seharusnya lebih dari cukup bagi para suami untuk senantiasa memperlakukan istrinya dengan baik dan penuh dengan tanggung jawab. Sebab, jika saja tugas itu harus turut pula ia tanggung secara langsung, maka sungguh, belum tentu seorang pria akan sanggup. Allah menakdirkan wanita tercipta dengan satu organ yang tidak dimiliki oleh kaum adam, yakni rahim. Rahim yang bermakna ‘kasih sayang’ ini merupakan sebuah kekuatan besar yang membuat seorang perempuan sanggup menanggung beban untuk menjadi jalan lahirnya seorang jiwa.
Begitupula dengan seorang anak. Dalam ayat yang kita kutip di atas, tersirat dengan sangat gamblang bagaimana Allah mewajibkan bakti seorang anak kepada orang tuanya, salah satunya dengan mengingatkan kita pada beratnya proses hamil dan melahirkan yang harus dijalani oleh ibunya. Bagaimana Allah menjadikan proses yang menyakitkan itu tetap dapat ditutup dengan senyuman kesyukuran dari seorang ibu yang baru saja melahirkan buah hatinya, meski ia telah kehilangan banyak darah, peluh, dan air mata. Sehingga, keberlangsungan hidup manusia tetap dapat terjaga, dan seorang wanita tidak menyerah untuk kembali melahirkan bayi-bayinya yang selanjutnya meski ia tahu proses berat yang sama harus kembali ia jalani.
Bagi seorang anak lelaki, menginsyafi tentang kehamilan dan melahirkan yang dijalani oleh sang istri akan menerbitkan sikap tanggung jawab, amanah, kecintaan, kesetiaan, dan penghormatan pada pasangan hidupnya. Bagi seorang anak perempuan, memahami tentang kehamilan dan melahirkan akan membentuknya bukan hanya menjadi seorang anak yang berbakti terutama kepada ibunya, namun juga kelak akan membuatnya menjadi seorang istri yang tak lupa membantu suaminya untuk terus berbakti pula kepada ibu dari suaminya tersebut.
Maka sekali lagi, proses kehamilan dan melahirkan seorang jiwa bukan hanya tentang ibu hamil itu sendiri. Allah menakdirkan perkembangbiakan makhluk-Nya harus melewati proses ini tentunya dengan sebuah hikmah yang sangat besar, yang pada akhirnya membawa pada kemanfaatan yang besar pula. Memahami hakikatnya sebagai salah satu tanda kebesaran Allah akan membentuk sebuah keluarga yang penuh dengan harmoni, saling memahami satu sama lain, serta saling menghargai peranan yang Allah berikan kepadanya. Dengan itu, akan terbentuk sebuah keluarga yang kokoh, yang siap menjadi pilar-pilar utama pembangun sebuah peradaban, dan mengisi bumi Allah ini dengan menegakkan kalimat-Nya di manapun, dalam keadaan apapun. Wallahu a’lam.
Oleh: Rifa’ah Ummu Fayyadh