Senin (7/11) Basuki Tjahaja Purnama telah diperiksa. Ia dijejali dengan banyak pertanyaan oleh para wartawan yang telah sedari tadi menunggunya. Namun, Gubernur Non-Aktif tersebut tidak banyak berkomentar. “Saya kira semuanya sudah jelas, kalau mau yang lain, silakan tanya sama penyidik”, tandasnya.
Pemanggilan BTP, alias Ahok adalah akibat dari aksi damai yang digelar oleh berbagai ormas islam di Jakarta, begitu pula di daerah yang lain. Aksi tersebut dikordinatori oleh GNPF-MUI, Gerakan Pengawal Fatwa – Majelis Ulama Indonesia yang diketuai oleh KH. Bachtiar Nasir.
Pasca aksi damai 411, tensi pemberitaan di media terus berlanjut. Masih banyak ditemukan perbincangan antara kalangan yang pro dan kontra dengan kasus Ahok di Kepulauan Seribu tersebut. Salah satu alasannya adalah penggunaan kata ‘pakai’.
Menurut kelompok pro Ahok, keberadaan kata pakai sangat penting dalam kalimat Ahok. Sebab keberadaan tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an tidaklah salah dan membohongi. Yang membohongi adalah orang yang menggunakan ayat-ayat qur’an untuk membohongi warga agar tidak memilih dirinya.
Lebih lanjut, para pembela Ahok sering mengungkapkan pernyataan bahwa teroris juga memanipulasi kesadaran masyarakat dengan ayat-ayat Qur’an. Sehingga banyak yang mengikut dan terprovokasi, karena merasa bahwa panggilan jihad di negara yang damai adalah panggilan suci. Mereka pun mau mati dan berdampak pada kekisruhan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Mereka juga sering mengutip bahwa, kalimat “dikejar kuda” sangat jauh maknanya dengan “dikejar pakai kuda”. “Dimakan pakai sendok” jauh berbeda pula maknanya dengan “Dimakan pakai sendok”. Sehingga dengan dalih ini, mereka getol melakukan pembelaan.
Pemahaman MUI
Apa yang dikaji oleh MUI dan kemudian keluar dalam bentuk fatwa bukanlah sebuah produk hokum yang dikerjakan tergesa-gesa dan tendensius. MUI tentu akan sangat berhati-hati dalam kinerjanya sebagai wadah musyawarah para ulama dan zuama yang bertugas mengawal dan menjaga umat dari pemikiran-pemikiran menyimpang. Dalam hal itu, MUI punya otoritas untuk memberikan jawaban atas sebuah persoalan yang berkembang di tengah masyarakat.
Apa yang dilakukan MUI, tidaklah seperti yang dituduhkan oleh Syafi’i Ma’arif. Pendiri Ma’arif Institute tersebut menuduh MUI sebagai ‘biang kerok’ kekisruhan di berbagai kota di Indonesia. Menurutnya, gara-gara fatwa tersebutlah, umat bergerak melakukan aksi 4 November. Jika saja tidak ada fatwa tesebut, masyarakat tidak perlu diresahkan.
Meski telah dibalas oleh Kiyai Didin Hafidhuddin, ia tetap bersikap sebagaimana sikap awalnya. Bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok di Kepulauan Seribu, sama sekali tidak mengandung penistaan al-Qur’an.
Sebenarnya masalah kata ‘pakai’, ‘dibohongi’, dan lain-lain bukanlah persoalan substansial dalam kasus Ahok. Yang substansial adalah apa sebenarnya isi dari QS al-Maidah ayat 51 itu ?. Apa tafsir dan penunjukannya.
MUI lewat fatwanya telah mengkaji. Bahwa Laa Tattakhidzu al-Yahuuda wa an-Nashaara awliyaa’ maknanya jelas. Pencarian padanan kata, ‘teman setia’, ‘pelindung’, ‘pemimpin’ masuk dalam makna ‘Awliya’. Yang menurut Ahok, terjemahan pemimpin adalah pembohongan kepada publik. Ia mengartikan bahwa awliya’, artinya adalah teman setia.
Inilah yang kemudian menjadi perhatian MUI. Bahwa Ahok telah melakukan kekeliruan. Ia telah melewati batas otoritasnya. Ia berbicara bukan pada bagiannya. Sebab MUI yakin bahwa memilih dan mengangkat pemimpin yang tidak seakidah adalah pelanggaran terhadap ayat tersebut. Ayat itu jelas dan tegas menyatakan demikian.
Sedangkan persoalan ‘pakai’ atau ‘tidak pakai’ juga sebenarnya bermasalah dalam logika para pendukung Ahok. Jika mereka yakin bahwa Qur’an sifatnya final dan suci, yang menggunakannya-lah yang salah, maka secara tidak langsung mereka telah yakin dengan arahan al-Qur’an itu sendiri. Sementara al-Qur’an melarang memilih pemimpin yang tidak seaqidah.
Memilih pemimpin orang yang seaqidah sangat jelas dan realistis bagi umat islam. Karena mereka menginginkan keutuhan syariat Islam menjadi terjaga. Memilih pemimpin, berarti mengangkat orang yang bisa mempertanggungjawabkan dunia dan akhirat kita. Sebab seorang pemimpin, bukan hanya memastikan, apakah rakyat yang dipimpinnya sejahtera dan makmur. Tetapi bisa memastikan dengan baik, jalan mereka ke syurga lebih mudah dengan sarana dunia (Wallohu a’lam bi ash-Showab).