Keutamaan Ilmu dan Penuntutnya
Dengan ilmu kita bisa beribadah yang benar sehingga akan mengantarkan kita kepada syurga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).
Olehnya, satu-satunya kegiatan yang dijamin oleh Nabi hadiahnya adalah syurga bagi yang menempuh atau mencarinya adalah ilmu. Ulama mengatakan bahwa dalam hadist ini tidak disebutkan orang yang berilmu untuk mendapat jaminan syurga, namun cukup dengan niat dan menempuh jalan walaupun tidak sampai pada taraf orang alim dengan ilmu yang banyak atau menjadi ulama.
Karena dengan ilmulah derajat kita dihadapan Allah akan terangkat, dengan ilmulah akan ada kemudahan jalan untuk menuju syurgaNya Allah. Tak semua ilmu yang mungkin dapat kita amalkan, namun karena ada satu atau dua ilmu yang mungkin kita amalkan dan ternyata melalui jalan itulah kita menjadi ahli syurga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (Muttafaq ‘alaihi).
Ulama menjelaskan kebaikan disini bukan hanya kebaikan akhirat atau dunia saja, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan pada keduanya yakni dunia dan akhirat. Olehnya barangsiapa yang diberikan kesempatan dan kesehatan untuk datang pada majelis ilmu maka itu adalah tanda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menginginkan kebaikan untuknya baik dunia dan akhirat.
Datang dan berkumpul dalam sebuah majelis juga memiliki keistimewaan sebagaimana hadist dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ »
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia (HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 7912),
Berdasarkan penjelasan ulama bahwa Malaikat, semut dan ikan serta seluruh makhluk langit maupun bumi bersholawat kepada para penuntut ilmu berupa doa permohonan ampunan dan rahmat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Qur’an dan Sendi Kehidupan
Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada ummat manusia melalui perantara nabi-Nya dibagi menjadi tiga bagian. Sepertiga pertama berisi tentang cara mentauhidkan Allah, Sepertiga yang kedua adalah tentang hukum-hukum dan sepertiga yang terakhir adalah berisi kisah-kisah.
Al-Qur’an menceritakan kisah bukan tiada maksud, melainkan dengan adanya banyak kisah-kisah yang diceritakan dalam al-Qur’an dapat menjadikan pelajaran hidup dalam segala segi kehidupan. Sehingga tidak ada alasan menolak syari’at Allah. Al-Qur’an itu diturunkan bukan hanya kepada manusia yang seperti malaikat saja, atau manusia wali yang memiliki kehebatan tertentu atau lainnya. Namun berdasarkan latar pelajaran dari kisah-kisah dalam Al qur’an ini dapat menjadi pelajaran hidup bagi siapa saja dan dalam segala segi kehidupan.
Sebagai contoh seperti kisah Nabi Isa ‘alaihi salam merupakan manusia yang termiskin, tak memiliki rumah dan pakainnya hanya yang melekat di badan, hal ini mengajarkan bahwa kekayaan ataupun kemiskinan bukan alasan untuk tidak beribadah kepada Allah.
Kisah Nabi Ayyub ‘alaihi salam yang menderita sakit yang berkepanjangan, mengajarkan bahwa sehat dan sakit bukan halangan untuk beribadah kepada Allah. Ketampanan nabi Yusuf ‘alaihi salam bukan menjadi sarana untuk bermaksiat kepada Allah.
Ada kisah Nabi Nuh sang tukang kayu, yang sibuk dengan pekerjaannya namun tetap mau beribadah kepada Allah. Dan sederatan kisah lainnya yang dapat ktia ambil ibrah di dalamnya, jika kita mau mentadabburinya.
Maka tak ada jalan bagi manusia untuk terhindar dari syari’at Allah, dan tak ada hukum yang turun dan dibebankan kepada hamba-Nya melainkan Allah telah tahu bahwa hambanya mampu untuk melaksanakannya. Menjalankan Syari’at Islam maka tak ada kata berat, apalagi syari’at dengan kategori yang wajib, karena memang itulah standar minimum manusia dapat menjalankannya. Contoh sholat, yang dilaksanakan 5 kali sehari semalam, ini wajib dan tidaklah berat, karena Allah sendirilah yang mengukur kemampuan itu dengan standar manusia. Bukan pejabat, penguasa atau pemimpin yang terkadang membebani bawahannya melebihi kapasitas kemampuan bawahannya.
Olehnya pentinglah bagi kita mempelajari kisah-kisah orang shaleh yang ada dalam Al-Qur’an agar kita dapat mencontoh jalan-jalan hidup mereka dan agar kita tetap istiqomah dalam menjalankan syari’atnya. Karena keistiqomahan itu penting, banyak dari kita yang dulunya taat, namun karena memasuki fase kehidupan baru, rumah dan kendaraan yang baru, jabatan yang tinggi sehingga ketaatan kepada Allah mulai berkurang bahkan telah pudar.
Abdullah ibnu Mas’ud berkata, “Ambillah pelajaran dari orang shaleh yang telah meninggal dunia, karena merekalah adalah orang yang telah menutup kehidupannya dengan khusnul khatimah.”, Karena sesungguhnya Allah akan senantiasa mematikan hambaNya sesuai dengan kebiasaan yang ia lakukan selama hidupnya.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Inna ma al’a’maalu bi al-khawaatim “Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya”. Kita tak bisa menghakimi seseorang baik atau tidak kecuali dilihat dari akhirnya. Banyak orang yang ketika di khalayak ramai ia terlihat baik namun ketika ia bersendiri maka banyak maksiat yang ia kerjakan. Sungguh telah banyak kisah orang-orang alim yang mengeluarkan aroma yang harum di jasadnya, namun ada juga yang berbau busuk.