Syaikh mengawali dengan mengutip sebuah potongan pidato. Potongan pidato ini adalah perkataan Abu Bakar as Shiddiq saat diangkat jadi khalifah, “Saya diangkat jadi khalifah untuk memimpin kalian padahal saya bukanlah yang terbaik untuk memimpin kalian. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan rasul-Nya. Namun jika aku bermaksiat menyelisihi peintah Allah dan rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban atas kalian untuk menaatiku.” Pidato ini sangat penting karena beliau adalah khalifah pertama setelah nabi. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam adalah kepemimpinan yang ketaatannya mutlaq.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Di situ Allah mengatakan, taatilah Allah dan rasul, tapi tak sebutkan dan ulil amri. Ibnu Qoyyim berkata,, taat pada Allah dan rasul adalah ketaatan yang mutlak. Namun ntuk ketaatan pada pemimpin, tak diikutilah lagi “taatilah pemimpin”, tapi harus merujuk pada ketaatan pada Allah dan rasul-Nya,. Jadi ketaatan pada pemimpin,tidak mutlak. Yang pertama kali amalkan ini adalah Abu Bakar as-Shiddiq saat umat sepakati kekhalifahan beliau. Beliau mau isyaratkan bahwa ketaatan padaku tak sama dengan ketaatan pada rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tak patut bagi seorang muslim bila Allah dan rasul-Nya telah membuat keputusan, namun ia masih memiliki pilihan yang lain. Kepada pemimpin, ia ikut pada ketaatan yang sesuai dengan kataatan pada Allah dan rasul-Nya. Kadang perintah pemimpin, tak ada dalilnya pada Alquran dan sunnah dan tidak ada juga larangannya, maka kita harus taat pada posisi seperti ini. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda bahwa siapa yang taat pada pemimpinku, maka ia taat padaku dan yang taat padaku, maka taat pada Allah. Selama peritah pemimpin itu tak bertentangan dengan perintah Allah.
Abu Bakar tak manfaatkan kepemimpinannya untuk semenah-menah. Beliau malah ingatkan sejak awal, bahwa taati aku dalam ketaatan dan jangan taati aku dalam kemaksiatan. Kaidah ini, diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan muslim dari amirul mukminin, Ali bin Abi Tholib. Dikabarkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wasallam mengutus ‘sadiyah’ (ekspedisi kecil untuk memata-matai musuh dan muqoddimah sebelum diutusnya jaiz). Yang diperintahkan untuk memimpin ‘sadiyah’ tersebut adalah seorang laki-laki dari anshor, sebagian riwayat berkata bahwa ia adalah Abdullah bin Hudzafah as Sahmi (walaupun ini ada khilaf karena beliau bukan dari kalangan anshor sehingga sebagian mengatakan, tambahan ‘minal anshor’ ini kurang tepat).
Orang ini mengingatkan pasukannya untuk selalu mengikuti perintahnya. Namun dalam perjalannnya pasukan itu menjadikan pemimpin ini marah sehingga ia mengatakan, “Kumpulkan kayu bakar”. Karena tak ada larangan, maka dilakukan hingga mereka mengumpulkan kayu bakar. Kemudian setelah itu ia mengatakan, “Kobarkan api”. Mereka jalankan perintah. Kemudian setelah api berkobar, ia berkata lagi, “Bukankah nabi sudah memesankan pada kalian agar kalian menaati aku dan mendengarkan setiap peritahku. Mereka berkata, “benar”. Panglima ini mengatakan, “Masuklah pada api yang berkobar ini”. Mereka saling melihat satu sama lain, ada yang berkata,”Kita bertemu dan bergabung pada Rasulullah agar selamat dari api neraka. Mengapa kita mau jatuhkan diri dalam kebiasaan?” Dalam kondisi itu, tak ada dari mereka yang melakukan walau mereka sampat ragu antra taati perintah dan hindari kobaran api. Hingga kemarahan pemimpin itu redah dan apinya juga padam. Mereka tak bisa menyimpulkan, apakah mereka salah atau benar. Mereka kisah itu pada nabi, lalu nabi bresabda, “Seandainya mereka itu masuk ke dalam api itu, maka mereka akan tidak keluar selamanya dari kobaran api itu”. Ini bisa dipahami tidak akan keluar dari api neraka, namun kurang tepat karena dosa besar tak akan jadikan orang kekal di neraka. Yang lebih tepat, adalah mereka tak akan keluar dalam keadaan hidup. “Karena ketaatan yang saya maksudkan hanyalah pada kebaikan saja.”
Dalam beberapa riwayat imam Ahmad dan yang lainnya, “Tak ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Allah”. Kaidah ini sangat penting untuk ketaatkan pada pemimpin, hadits ini tak khusus pada kasus sahabat tadi. Tapi ini kejadian pertama kali di zaman sahabat dan menjadi kaidah umum yang berlaku sepanjang zaman. Kaidah pelajaran itu diambil dari keumuman lafaznya, tidak khusus pada sebab terjadinya kejadian tersebut. Selama ia adalah maksiat, maka tak boleh taat pada pemimpin. Bahkan ini berlaku umum kepada setiap pemimpin yang waib diatati. Bukan hanya komandan perang. Misalnya dari para pemimpin: raja, presiden, baik pemimpin tertinggi atau di bawahnya,orang tua ditaati oleh anaknya atau suami wajib ditaati oleh istrinya. Hadits Muadz bin Jabal bahwa seandainya boleh saya perintahkan sujud pada oranag lain, maka saya akan perintahkan istri sujud pada suami. Namun kalau suami menyuruh pada hal mungkar, maka ketaatkan hanya pada kebaikan saja.
Kata syaikh, Allah dan rasulnya menyuruh kita taat pada pemimpin, artiya, ketaatan ini tergantung keadaannyan dan urf-nya. Inlah keagungan agama ini yang punya kaidah yang relevan sepanjang zaman karena ada hukum urf yang berlaku masing-masing. Kadang ada kaedaan tertentu yang beda dari satu tempat dan waktu. Bagaimana hukumnya? Dikembalikan pada urf. Contoh dalam berbuat baik (al birr), silaturrahim. Dulu, tak ada silaturrahim kalau hanya menelpon karena dulu tak ada telpon, dan sekarang, wajar seorang alim ditanya, bolehkan silaturrahim dengan telpon saja untuk orang tua yang tempatnya jauh jawabnya boleh. Ini telah dianggap silaturrahim, Termasuk juga kebaikan pada tetangga. Mungkin sebagian tempat, untuk beruat kebaikan, hal terhormat kalau bawakan kartu undangan. Tapi di tempat lain, tidak terhormat, tapi harus ke rumahnya langsung.
Syaikh berkata, dari kaidah ini, ada beberapa hal yang perlu dipahmai bahwa, pertama, dari kaidah ‘ketaatan itu hanyalah dalam kebaikan’, maka turunan dari kaidah ini, siapa saja diantara pemimpin: suami untuk istri, orang tua untuk anak, dll, yang perintahkan kemaksiatan atau melarang kita dari hal yang wajib, maka jawabannya, tak ada ketaatan padanya. Ulama telah ijma bahwa siapa yang memerintahkan kepada kemungkaran, maka tak ada ketaatan padanya. Surah al-Maidah ayat 2, tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Ini sifatnya umum untuk ta`awwun, tapi juga jadi dalil bahwa ta’awwun hanya dalam kebaikan dan tak ada taawun dalam keburukan. Selama permintaannya dalam ketaatan, maka wajib diikuti, namun dalam dosa tak wajib diikuti.
Ada beberapa ayat yang lebih jelas tak bolehnya taat pada kemaksiatan dalam surat at Taubah ayat 31 ketika Allah berfirman bahwa mereka itu (Yahudi dan Nasrani) menjadikan ulama mereka, ahli ibadah meraka (dua hal yang paling bahaya kalau sesat, yaitu alim dan abid) sebagai Tuhan selain Allah. Ibnu katsir, saat tafsirkan ayat ini, mengutip hadits nabi, HR Ahmad dan Tirmidzi (dihasankan sebagian ulama dan didhoifkan sebagian yang lain, tapi syaikh al Bani hasankan haditsya), yaitu ksiah Adi bin Khatim. Beliau awalnya nasrani. Orang Quraish, lalu ke syam, jadi nasrani. Dulu beliau masih pakai salib dan Nabi shallallahu `alaihi wasallam menyuruhnya melepaskan salibnya. Waktu itu Adi bin Khatib dengar nabi membaca ayat tadi, surat at Taubah ayat 31. Karena dia adalah nasrani, maka seakan ia pahami bahwa nasrani itu sujud pada pendeta mereka. Ia pun berkata, “Mereka tak pernah sujud pada alim dan ahli ibadah mereka”. Ia tanyakan, apa makna ayat tadi? Nabi menjawab, “Bukankah pendeta mereka telah meghalalkan apa yang Allah haramkan dan pengikutnya ikut-ikutan menghalalkannya? Dan bukankah pendeta mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan dan pengikutnya ikut-ikutan mengharamkannya? Jadi maksudnya bukan sujud, tapi yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan. Jadi dengan begitu, kita dianggap beribadah pada meraka. Nabi bersabda bahwa begitulah ibadah mereka pada pimpinan mereka.
Firman lain dalam surah al Ahzab, “Pada hari wajah mereka dibalikkan pada neraka, mereka mengatakan,”Seandainya kami dulu taat pada Allah dan rasul-Nya, ya Rabb kami, kami hanya menaati pimpinan kami, orang besar kami, dalam kesesatan” Maka mereka berdoa, “Ya Allah berikanlah pada meraka adzab, siksa dua kali lipat dari kami dan laknatlah ia yaa Allah dengan laknat yang besar’ Beginilah sesatnya pemimpin yang menyuruh pendukungnya untuk taati ia sehingga bermaksiat pada Allah dan rasul-Nya.
Perkataan Abu Bakar tadi juga ternyata diulangi oleh Umar bin Abdul Azis rahimahullah. Pemerintahan beliau sangat singkat hanya 2,5 tahun, mirip dengan Abu Bakar. Umurnya cuma 40 tahunan, dan memerintah 2,5 tahun, tapi dicatat oleh tinta emas. Beliau berkata, “Taatilah aku selama aku taat pada Allah dan tak ada ketaatan padaku kalau aku bermaksiat pada Allah.”
Syaikh tutup penjelasan pertama ini dengan kisah imam ahmad, imam as shiddiq fi samanihi. Abu Bakar adalah pembela agama ketika di zamannya banyak murtad di zamannya, maka as shiddiq di zamam yang lain adalah imam Ahmad. Khalifah pada saat itu berturut-turut, Mukmin, Mu’tashim Billah, Alwasiq Billah, Almutawkkil Alallah, semuanya memerintahkan untuk berkata bahwa al Quran adalah makhluk. Imam Ahmad tampil tegar untuk nyatakan kebenaran walau resikonya dipenjara. Waktu itu, sebagian ulama mengambil keringanan Allah, “Kecuali orang yang dipaksa tapi hatinya tenang dalam keimanannya”. Sebagian ulama, misal Imam Ali bin Madin, ulama besar, guru Imam Bukhari, termasuk beberapa ulama yang tak tahan dengan siksa sehingga terpaksa mengatakannya. Namun Imam Ahmad tetap tegar, beliau menyuarakan. Ini sikap pertengahan: beliau tak patuh, tetapi menyuarakan, dan melarang orang untuk ikut, tapi tak perintahkan orang untuk memberontak. Jadi ini adalah sikap tawazun imam Ahmad. Sepupu beliau berkata, para fuqoha di zaman Wasiq (wasiq adalah khalifah yang ketiga), berakata pada Imam Ahmad, “Urusan ini sudah begitu gentingnya dan sudah meluas fitnah ini, kepemimpinannya tidak beres, bagaimana kalau kita berontak saja? Imam Ahmad berakata untuk tetap bersabar dan mengingkari dengan hati kalian tapi jangan keluar dari kekhalifahannya yang sah. Jangan kamu pecahkan persatuan kaum muslimin. Jangan kalian tumpahkan darah kaum muslimin. Perhatian akhir dari urusan ini. Bersabarlah hingga suatu saat orang yang taat akan istirahat dari pemimpin yang dzolim atau hingga suatu saat kita bisa istirahat dari pemimpin yang durhaka itu. Tak tepat kalau kita memberontak waktu itu.
Keadaaan kita saat ini juga begitu. Tapi bedanya, pemimpin kita zaman dulu, banyak kemungkarannya, secara pribadi ada kesalahan dan ada bid`ah, namun hukum Allah tetap ditegakkan dan meraka tak ditunggangi oleh musuh-musuh Islam. Beda denga sekarang. Para ulama kita dahulu, Mereka tak berkata, revolusi, tapi mereka juga tak diam atau asal terima saja. Manhaj salaf adalah tidak memberontak, keluar dari pemerintah yang sah, maka bukan berarti tak bolehnya revolusi lalu kita diam-diam saja terhadap yang dilakukan oleh pemimpin yang dzolim. Hajjaz, khalifah yang dzolim walau rajin puasa, para ulama tak berontak waktu itu,tapi tak berarti meraka tak bersuara. Mereka menunjukkan penentangan meraka pada beliau. Namun kondisi saat ini, kondisi yang mirip kata nabi, “Akan datang masanya tahun yang penuh penipuan, di zaman itu, orang dusta dibenarkan dan orang yang jujur didustakan. Diberikan amanah orang yang khianat, dan oranag yang terpercaya justru dianggap khianat”. Ini yang kita saksikan hari-hari ini. Pada saat seperti itu, mulai tampil orang yang berfatwa, namun ia yang bukan ulama, bodoh, namun bicara tentang urusan yang besar. Kalau kita dapat kondisi ini, maka kita bayak diam dan serahkan urusan pada ulama robbani.
Hari ini tersebar berita hoax tentang ustadz zaitun yang mengumandangkan akan tiba wakrtu untuk revolusi. Mari ikut arahan para ulama. Kondisi pemimpin kita sekarang tampak sama persis dengan pemimpin di zaman itu, namun tak langsung disuarakan revolusi. Arahan pemimpin kita, bahwa saat sekarang yang paling mungkin adalah sampaikan kebenaran dengan lisan kita. Imam Ahmad, “Jangan sampai menjadikan tumpahnya darah kaum muslimin”.
Kita berdoa, semoga Allah perbaiki keadaan kita dan selalu meneguhkan pada ulama kita di atas jalan yang benar dan terus memberikan arahan yang tepat kepada kita. Semoga Allah jadikan orang yang memimpin kita adalah orang yang terpercaya. Kita perlu berdoa, “Ya Allah, jadikan dalam urusan kita adalah ahli ketaatan yang dimuliakan, dan bukan ahli maksiat.” Ini zaman yang butuh kesabaran, namun bukan berarti tak bekerja. Kita perlu terus berdakwah dengan cara yang terbaik dan tak melakukan hal yang dapat hasilkan mudhorat pada hal yang lain. Kita suarakan, tak ada ketaatan pada kemungkaran dalam maksiat, namun juga jangan lakukan hal yang bisa datangkan kemungkaran yang lebih besar. Sibukkan diri pada kewajiban yang memang harus dikerjakan, tuntut ilmu yang benar dalam menyikapi setiap keadaaan Perlu kita dengarkan arahan ulama robbani kita, yang selalu melihat dalam pandangan bashiroh dan melihat dari banyak sisi.
*) Ditulis oleh Andi Muh. Akhyar, S.Pd., M.Sc.
**) Catatan ta`lim malam rabu, masjid Anas Bin Malik STIBA Makassar oleh ust.Yusron Anshar, Lc.,M.A.