Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus berkata, Nabi salallahu ‘alahi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan ihsan atas segala hal. Karena itu, jika membunuh (yang dibenarkan syari’at), bunuhlah dengan baik, dan jika menyembelih, sembelihlah dengan baik. Tajamkan pisau dan jangan membuat hewan sembelihan itu menderita”. (HR Muslilm)
Nabi memberikan kaidah pokok kemudian membuat pemisalan terhadap kaidah pokok yang dibuat. Ini mirip dengan hadits segala seuatu bergantung niat. “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah,” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).
Disini, nabi kita membuat pemisalan dengan pemisalan yang mungkin tidak terpikir, luput dari perhatian, tidak menduga untuk berbuat ihsan pada perbuatan tersebut. Kita berpikir, ihsan itu membantu orang sakit, membantu orang susah, menolong orang tua antarkan barang, dst. Kita tidak berpikir bahwa berbuat baik itu juga diperintahkan saat kita memukul, berkelahi, membunuh karena pikiran kita bertentangan dengan itu. Tidak mungkin dikatakan ihsan dalam bab pembunuhan. Namun dalam Islam, sampai masalah yang kadang kita tak duga, ia adalah bagian ihsan atau ada unsur ihsan, maka kita perlu berbuat ihsan. Makanya, Nabi disini tidak berkata, “Jika kamu berbuat baik pada orang tuamu, maka pelan-pelan,sayangi. Atau jika kamu membantu orang miskin, perbaiki cara membantunya”. Tapi beliau mencontohkan ihsan dalam membunuh atau menghilangkan nyawa hewan sembelihan. Ini menunjukkan luasnya makna ihsan.
Syaikh menyampaikan kalimat pengantar sebelum masuk dalam rincian tersebut. Beliau buat perkataan namun beliau tak sebutkan asal dari perkataan tersebut. Mungkin dari beliau sendiri untuk menerangkan maksud hadits ini. Beliau berkata bahwa Allah mewajibkan al-Ihsan ‘atas segala sesuatu’ dan Rasulullah tak mengatakan ‘kepada segala sesuatu’ (‘Ala kulli syai). Nabi kita tidak berkata, ila kulli sya`i’,kepada siapa saja (‘Ala kulli syai`in dan ila kulli syai`in). Bedakan, Kalau ‘ala kulli sya`i, atas segala perbuatan, semua perbuatan ada ihsan di dalamnyanya. Kalau ila kulli sya`i, kepada siapa saja. Kalau dikatakan, Allah menyuruh kita berbuat kebaikan pada siapa saja, kita pahami berbuat baik, maksudnya, kita tolong orang lain, siapa saja orang itu. Jadi Amalan kita, kita batasi pada amalan yang kita sudah pahami bahwa itu adalah kebaikan. Menolong orang susah, dll, tanpa lihat siapa yang kita bantu.
Namun pada hadist ini, nabi mengatakan, ‘ala kulli sya`in, atas segala sesuatu amalan’. Jadi kita harus selalu berbuat ihsan atas segala sesuatu. Jadi dalam berbuat, kita tidak boleh asal-asalan. Asal gugur kewajiban. Ihsan, kalau dicari sinonimnya, maka ia cocok dengan al-Itqon, mengerjakan sesuatu dengan cara yang terbaik. Dalam segala hal, bahkan sampai saat membunuh. Kata syaikh disini, “Perbuatan ihsan itu tak terkhusus pada satu jenis amalan namun dalam seluruh hidup kita.”
Kata syaikh, “Ini adalah batu bata dari kumpulan bata-bata dari bangunan dien yang agung ini, yang dibangun atas kesempurnaan hikmah, ilmu, dan rahmat yang bersumber dari Allah. Apakah kita telah cermati dengan baik kata-kata ‘atas segala sesuatu’? Ini tunjukkan perbuatan ihsan dalam seluruh amalan yang ada tanpa ada pengecualian.”
Mari lihat contoh dalam hadist kita ini. Contoh pertama adalah bagaimana berbuat ihsan dalam ibadah kita pada Allah. Ini adalah seagung-agung makna kaidah ini. Baigaimana beribadah pada Allah bukan asal-asalan. Kalau kita mau jujur, banyak dari kita yang melaksanakan ibadah sekedarnya saja. Kita tak termasuk orang yang meninggalkan sholat. Namun kita belum tentu bukan orang munafik yang ketika bangkit; bangkit dalam keadaan malas atau cuma mau dilihat oleh manusia. Sholat, namun sholat sebatasnya saja. Karena ia memang tak nikmati ibadah sholatnya. Kalau sholatnya sudah bisa gugurkan kewajiban, maka sudah.
Bagiamna beribadah dengan ihsan? Nabi tafsirkan ibadah ihsan kepada Allah adalah dalam hadist jibril, “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah”. Namun kita tak mungkin melihat Allah di bumi, namun ‘seakan-akan’. Jadi kita merasa sholat bahwa kita diawasi oleh Allah. Misal, kita harus selesaikan tulisan ini hari ini. Kita diberi waktu lima jam. Tapi atasan antum tidak menyertai antum dan baru datang lima jam nanti. Maka akan ditulis dengan santai, tidur-tiduran, kadang istirahat, targetnya tetap akan tercapai. Dibadingkan antum diawasi langsung, perbedaannya sangat mencolok. Dan bagi Allah perumpamaan yang paling tinggi. Kalau kita sholat dengan melihat Allah atau berupaya melihat Allah, maka itulah kualitas ibadah yang tertinggi. Kalau diurutkan tingkatan agama, maka ada tiga: islam, iman, ihsan. Muslim belum tentu mencapai derajat iman. Boleh jadi orang telah berislam tapi belum beriman. Boleh jadi telah beriman, tapi belum ihsan. Ini derajat tertinggi ibadah hamba pada Allah. Nabi kita menyuruh ibadah dengan ihsan (kualitas terbaik). Ini lah ihsan kita pada Allah.
Kedua, ihsan terhadap sesama manusia dalam berinteraksi. Semua manusia berhak kita berbuat ihsan pada mereka, namun yang paling pertama adalah kepada kedua orang tua kita. Kemudian kepada siapa saja dari manusia yang punya hak dengan kita: orang terdekat, orang tua, tetangga, dan teman secara umum sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 36, “Dan beribadalah pada Allah dan jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu dan kepada kedua orang tua berbuat ihsan lah.” Ini satu dari banyak dalil yang menyebutkan hak berbuat ihsan kepada orang tua setelah kepada Allah (QS. an-Nisa:36, QS. Lukman:14 , QS. al-Isra:23).
Setelah hak Allah, maka hak manusia yang paling pertama kita tunaikan dalam urusan keduniaan adalah orang tua. Bedakan hak manusia dalam urusan dunia dan urusan agama. Dalam urusan agama, hak pertama yang perlu ditunaikan adalah hak Rasulullah. Rasulullah bersabda dalam riwayat Bukhari, “Tak dikatakan sempurna iman sesorang sebelum aku lebih dicintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan semua manusia”. Untuk urusan dunia, maka orang yang pertama kali kita berikan hak dunianya adalah kedua orang tua kita. setelah orang tua, selanjutnya karib kerabat. Orang tua bagian karib kerabat, tapi karena pentingnya, maka dikhususkan. Kemudian anak yatim, orang miskin, tetangga dekat (punya hubungan kekerabatan), tetangga jauh (tidak punya hubungan kekerabatan). Selanjutnya, teman dekat, orang yang dalam perjalanan, dan budak-budak. Semua jenis manusia ini, kita diperintahkan berbuat ihsan.
Syaikh berkata, maha suci Allah, sampai urusan membunuh dan menyembelih, kita juga harus berbuat ihsan. Ini tak akan dipahami oleh orang yang tak kenal syariat, apalagi orang kuffar. Makanya mereka tak kenal etika perang atau membunuh. Ada yang memutilasi, menyiksa, dll. Maka tak heran kalau mereka membantai saudara kita dengan perbuatan keji dan sadis. Ini kedzaliman luar bisa umat di luar Islam pada Islam. Islam dengan segala kemarahannya dan kita memang wajib marah terhadap musuh Islam yang berbuat semena-mena pada umat Islam dan agama ini, namun dengan kemarahan kita itu, kita tak boleh menganiaya. Kesalahan tak dibalas dengan kesalahan. Kita tak dzolimi mereka sebagaimana mereka mendzolimi kita. Dalam jihad yang suci hingga hari kiamat, tak dikenal membunuh secara sadis: mutilasi, dll.
Jadi dalam urusan meyembeli dan membunuh, kalau memang pantas untuk dibunuh atau disembelih, maka wajib bagi yang mau membunuh atau menyembelih untuk berbuat ihsan. Tidak boleh baginya membunuh dengan qitlah (kaitannya dengan tata caranya), bukan qatlah (kaitannya dengan jumlahnya). Maka tak boleh membunuh dengan cara menta`zib.
Ada hewan yang dilarang untuk dibunuh. Ada hewan yang diperintahkan untuk dibunuh. Ada hewan yang diperintahkan dibunuh saat dibutuhkan. Hewan yang dilarang atau diperintahkan dibunuh, tak boleh dikomsumsi. Misalnya tikus. Hewan yang dilarang dibunuh: kucing, katak, semut. Dan ada hewan yang dibunuh pada waktu dibutuhkan, dengan cara disembeli saat mau dimakan. Halal saat mau dimakan. Jadi jangan disembeli lalu tak dimakan. Jenis yang kita diperintahkan untuk dibunuh pun: ular, tikus, dll, disinilah berlaku hadist kita tadi, “Kalau membunuh, maka bunuh dengan cara terbaik”. Tidak boleh dengan cara disiksa, dibakar, dll. Cari cara yang paling mudah dia mati. Karena tujuannya untuk dibunuh, bukan untuk disiksa. Apa lagi kalau hewan disembelih, boleh disembelih untuk dikonsumsi, maka harus disembelih dengan cara penyembelihan yang syar`i. Maka ini yang tak dimiliki Barat. Dalam kedokteran pun diakui bahwa itu cara terbaik.
Ketiga, ihsan pada hewan. Ada faedah kenapa sampai nabi sebutkan untuk ihsan pada hewan, meyembeli harus ihsan. Ada dua faedah.
Pertama, Nabi mau ingatkan kita bahwa ihsan itu makna yang umum. tidak hanya sesama manusia, tapi juga kepada makhluk lain selain manusia. Oleh karenanya, ketika seorang wanita di zaman Bani Israil berbuat yang tidak ihsan kepda kucing; ia tak berikan makan pada kucing dan tidak biarkan juga kucing cari makan senndiri, maka Allah menyiksanya dengan neraka. Sebaliknya Allah telah mengampuni dosa seorang wanita pezina yang berbuat baik kepada anjing.
Bayangkan, wanita pertama tak dikenal sebagai wanita jahat. Boleh jadi bagus ibadahnya. Ia pelihara hewan yang patas dipelihara. Kasus kedua, wanitanya bukan sholehah, tapi pelacur, pezina. Hewan yang bersamanya adalah bukan hewan yang seharusnya dimuliakan secara khusus. Tapi kenapa dalam kasus kedua dapat ampunan, dan khasus pertama justru masuk neraka? Persoalan ‘ihsan’. Bukan siapa wanitanya dan apa hewannya. Tapi bagaimana perbuatannya pada hewan tersebut. Jadi, soal cara.
Andai Nabi berkata, “Allah wajibkan berbuat baik pada kucing”, namun bukan itu. masing-masing objek sama, sama-sama hewan. Namun hewan pertama lebih mulia dari yang kedua. Namun hewan satu tak ada ihsannya dan hewan ke dua ada ihsannya. Jadi masalhnya ‘ihsan’. Wanita satu bagus hubungan vertikalnya dengan Allah. Tak masalah pelihara kucing. Namun masalahnya ia tak berihsan pada kucing. Wanita kedua, wanita pezina, tak terhormat oleh seluruh agama/syariat yang ada. Hewan yang berinteraksi dengannya juga tidak mulia, hina, namun ia diampuni oleh Allah karena ihsan yang dilakukan. Maka ini menunjukan pentingnya persoalan ihsan. Dengan ihsan, sebagian dimuliakan dan sebagian dihinakan.
Ihsan juga harus sesuai dengan syariat. Contoh kasus, anjing. Ihsan dengan anjing adalah beri minum atau makan. Jadi bukan ihsan pada anjing adalah dipelihara, tidur sama anjing, atau dimandikan, dll.
Ke dua, Nabi kita menyebutkan, “Jika menyembelih, maka sembelilah dengan cara yang baik.” Beliau contohkan dengan sesuatu yang rendah agar untuk sesuatu yang lebih tinggi kita berbuat yang lebih baik. Lalu bagaimana lagi kalau manusia? Lalu bagaimana lagi bila orang yang lebih tua? Lalu bagaimana lagi jika orang tua kita sendiri?
Berbuat baik pada binatang saja kita dapat pahala, lalu bagaimana lagi dengan orang yang lebih pantas kita muliakan. Berbuat baik pada orang tua, bagus! Maka apalagi dengan orang tua kita sendiri. Sayang anak, bagus! Lalu bagaimana lagi jika yang kita sayang adalah anak kita sendiri.
Kalau ada yang betanya, apa makna ihsan yang dimaksudkan yang sedang dibicarakan sekarang ini? Makna ihsan dalam pembahasan kita adalah mengeluarkan segala sesuatu dari manfaat yang bisa diberikan untuk disalurkan manfaat dengan jenis apa saja yang dimiliki kepada makhluk apa saja. Akan tetapi, ini bertingkat-tingkat, bergantung kapada siapa kita berbuat baik. Maka kekeliruan orang ketika ihsannya dengan sesama mansia bagus namun ia tidak ihsan pada Allah. Ia penuhi hak manusia, ia ramah, santun, dermawan, dll, namun ia tidak pernah sujud pada Allah. Tak rukuk, muamalah, interaksi pada Allah. Ini keliru. Ia telah ihsan pada yang diperintahkan, namun ia sibuk pada yang rendah,dan meninggalkan yang lebih harus. Nabi kita contohkan yang rendah agar kita lebih baik lagi pada yang tinggi. Jadi mau berbuat ihsan. Lihat lah kadar manfaatnya lebih banyak. Siapa yang paling banyak manfaat jika kita berbuat ihsan padanya. Bagaimana keimanan dan keikhlasan kita dan apa faktor pemicu saat kita berbuat ihsan.
*) Ditulis oleh Andi Muh. Akhyar, S.Pd., M.Sc.
**) Catatan kajian kitab ’Kawaid Nabawiyah’ setiap malam Rabu oleh ust.Yusron Anshar, Lc.,M.A. @masjid Anas Bin Malik STIBA Makassar