Apa yang ada dalam benak kita, ketika mendengarkan kata ‘sains’ ?. Mungkin sebagian besar kita akan menghubungkan kata sains dengan natural sains, atau ilmu pengetahuan alam. Sehingga sangat jarang kita mendengarkan ilmu-ilmu sosial disebut dengan sains sosial.
Itu mungkin salah satu kekurangan bahasa kita, dimana terkadang dalam penyerapan istilah asing, terkadang maknanya berubah. Sehingga untuk memperoleh makna atau penunjukan yang tepat, kita mesti mengembalikannya kepada sumber istilah itu sendiri.
Dalam situs dictionary.com, science salah satunya diartikan sebagai knowledge, as of facts or principles; knowledge gained by systematic study. (lihat: http://www.dictionary.com/browse/science?s=t). Sehingga, makna sains adalah pengetahuan yang tersistemasi-sasi menurut Bahasa Inggris. Defenisi ini, jika dianggap sebagai defenisi umum, maka ini adalah defenisi sains dalam Peradaban Barat. Dari defenisi itu bisa terbaca, bahwa pengetahuan yang tidak diperoleh dengan metode ilmiah bukanlah sains, seperti wahyu, mukasyafah, ilham, mimpi dan lain – lain.
Lalu bagaimana dengan Islam ?. Istilah sains dalam Islam, berbeda dengan sains dalam pengertian Barat modern saat ini. Salah satu penjelasan dari Usep Mohamad Ishaq, peneliti sejarah dan Filsafat Sains UTM Malaysia mengatakan bahwa “jika sains di Barat saat ini difahami sebagai satu-satunya ilmu, dan agama di sisi lain sebagai keyakinan, maka dalam Islam ilmu bukan hanya sains dalam pengertian Barat modern, sebab agama juga merupakan ilmu, artinya dalam Islam disiplin ilmu agama merupakan sains.”
Padanan kata sains dalam bahasa Arab adalah kata ilm. Sehingga untuk mengartikan sains dalam Islam, kita harus mencari pemaknaannya dalam bahasa Arab. Bahasa Arab, berbeda dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab memiliki konsistensi makna yang kuat. Selain itu ia juga punya medan makna yang tetap meski dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, Prof. al-Attas kemudian menyatakan bahwa al-Qur’an adalah Bahasa yang memiliki sifat Ilmiah (Scientifc Nature).
Secara bahasa, dalam medan makna tadi, kita bisa melihat terdapat hubungan yang erat antara ilmu (‘ilm), alam (‘alam), dan al-Khaliq. Untuk menggambarkan secara singkat hal ini, marilah kita lihat kata ‘ilm, sebuah istilah yang digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan ilmu. Kata ‘ilm yang berasal dari akar kata yang terdiri dari 3 huruf, ‘a-l-m, atau ‘alam. Arti dasar yang terkandung dalam akar kata ini adalah ‘alÉmah, yang berarti “petunjuk arah”. Al-Raghib al-Isfahani (1997, s.v. “‘a-l-m”) menjelaskan bahwa al-‘alam adalah “jejak (atau tanda) yang membuat sesuatu menjadi diketahui’ (“the trace (or mark) by wich something is known”/”al-atsar alladzi yu’lam bihii syai’”). Berkaitan dengan itu, Franz Rosenthal, peneliti Sejarah Peradaban Islam, memberikan pandangannya yang menarik, bahwa the meaning of “to know” is an extension, peculiar to Arabic, of an original concrete term, namely, “way sign.”…the connection between “way sign” and “knowledge” is particulary close and takes on especial significace in the Arabian environment.”
Pakar sains islam, Dr. Mohd. Zaidi Ismail, menyatakan bahwa ilmu Fisika yang merupakan bagian utama dalam natural science, dalam tradisi keilmuan dan sains Islam disebut sebagai ‘ilm al-tabi’ah (the science of nature). Kata al-Tabi’ah diambil dari akar kata t-b-’a atau Taba’a, yang berarti “kesan atas sesuatu (ta’Tsir fii…), “penutup (seal), atau “jejak (stamp)” (khatm), maka ia menyiratkan “sifat atau kecenderungan yang dengannya makhluk diciptakan” (al-sajiyyah allatii jubila ‘alayha). Semua arti tersebut “mengasumsikan” adanya Sang Pencipta yang dengan cara-Nya mencipta (sunnatullah), membuat aturan (order), dan keberlangsungan (regularity) sejalan dengan universe sebagai kosmos-bertentangan dengan ketidakteraturan/chaos-dan memungkinkan adanya ilmu dan prediksi. Kemampuan memprediksi sebagai salah satu karakteristik Natural Science menjadi mungkin karena desain ‘aqliah’ (intelligent design) dan ketertiban yang terus-menerus pada alam, sesuatu yang tersimpulkan dalam konsep Islam yang disebut dengan ‘Sunnatullah’.
Dengan demikian maka alam ini dan kejadian-kejadian yang membentuknya dalam al- Qur’an disebut sebagai ayat-ayat Allah (yaitu, petunjuk dan simbol-simbol Tuhan), demikian pula kalimat-kalimat dalam al- Qur’an pun disebut dengan istilah yang sama yakni ayat. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya, baik alam maupun al-Qur’an adalah ayat yang berasal dari sumber yang sama, perbedaannya adalah bahwa alam adalah ayat yang diciptakan, sementara yang al- Qur’an adalah ayat yang diturunkan (tanzil atau wahyu). Dengan demikian, bagi seorang ilmuwa muslim, seharusnya kegiatan sains pada dasarnya menjadi suatu usaha untuk membaca dan menafsirkan kitab Alam sebagaimana halnya ia membaca dan menafsirkan al- Qur’an. Pandangan yang seperti inilah yang melandasi ilmuwan Muslim terdahulu.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pakar pendidikan Islam juga menekankan hal ini dalam bukunya Prolegomena To The Metaphysics of Islam:
“Alam raya seperti digambarkan dalam Kitab Suci al-Quran tersusun dari bentuk-bentuk simbolik (ayat), seperti kata-kata di dalam sebuah kitab. Benar, bahwa alam raya adalah bentuk lain dari kenyataan ilahiyah yang dapat dipadankan dengan kitab suci al-Quran, hanya saja kitab alam yang besar ini merupakan sesuatu yang diciptakan, alam menyatakan dirinya dalam bentuk yang banyak dan berbagai yang berwujud secara simbolis atas dasar bahwa semua itu diungkapkan terus-menerus mengikuti Titah Penciptaan Ilahi. Kata sebenarnya adalah simbol, dan untuk menegetahuinya dengan sebenar-benarnya, adalah dengan mengetahui apakah kata tersebut mewakili sesuatu, menyimbolkan sesuatu, dan memberi makna sesuatu. Jika kita menganggap sebuah kata seolah-olah memiliki realitasnya yang tersendiri, maka kata tersebut tidak lagi merupakan petunjuk atau simbol karena ia kini diperlakukan sebagai sesuatu yang menunjuk pada dirinya sendiri, dan ini bukanlah sesuatu yang sebenarnya.”
“Pada hakikatnya sesuatu itu, seperti juga kata, adalah sebuah petunjuk (tanda) atau simbol, dan petunjuk atau simbol adalah sesuatu yang dzhair dan tak terpisahkan dari sesuatu yang lain yang tak dzahir. Sehingga tatkala yang pertama itu sudah dapat ditangkap, dan yang bersifat dengan sifat yang sama dengan yang pertama itu tadi dapat diketahui. Oleh sebab itu kami telah mendefinisikan ilmu secara epistemologis sebagai sampainya arti sesuatu itu ke dalam jiwa, atau sampainya jiwa pada arti sesuatu itu. “Arti sesuatu itu” berarti artinya benar, dan apa yang kami anggap sebagai arti yang ”benar” itu, pada pandangan kami ditentukan oleh pandangan Islam (Islamic vision) tentang hakikat dan kebenaran sebagaimana yang diproyeksikan oleh sistem konseptual al-Quran.”
Jadi bagi seorang saintis Muslim, melakukan kegiatan sains (mempelajari, meneliti dan mengajarkannya) pada intinya menjadi suatu usaha untuk membaca, memikirkan, mengartikan “kitab alam” yang terbuka secara benar. Dengan demikian seorang ilmuwan tidak bisa tidak untuk memperhatikan kitab yang diturunkan dalam setiap aktivitasnya, memperhatikan kitab ciptaan.
Dalam aktivitas membaca sebuah tulisan, seseorang harus membaca huruf-huruf yang merangkai sebuah kata dan menyusun suatu kalimat. Akan tetapi pembaca yang benar tidak hanya bisa membaca kata-kata, tetapi yang lebih utama adalah memahami maksud dan makna dari kata dan kalimat tersebut. Jika seseorang menganggap bahwa sebuah kata seolah-olah memiliki realitasnya yang berdiri sendiri, maka kata tersebut menunjuk kepada dirinya sendiri, yang mana hal tersebut bukan dirinya yang sebenarnya. Lantas kata tersebut akan berhenti berfungsi sebagai petunjuk atau simbol. Jadi yang terpenting dari kegiatan membaca adalah menangkap makna di balik kata dan huruf atau simbol.
Kita bisa memberi ibarat yang mudah tentang hal tersebut. Misalkan ada sebuah penanda jalan. Kita melihat penanda jalan tersebut bukan pada eksistensi realitasnya. Penanda tersebut punya makna. Seorang yang punya ilmu-lah yang bisa menangkap makna penanda jalan tersebut. Orang yang hanya memperhatikan penampakan saja dari penanda jalan tersebut tidak akan bisa membacanya. Ia hanya akan sibuk memperhatikan, garis, warna dan bentuknya semata. Sedangkan seorang yang mengerti makna penanda tersebut, ia akan tahu bahwa penanda itu menunjuk pada satu ‘pesan’ tertentu. Tanda panah ke kiri, artinya belok kiri. Begitu pula tanda panah ke kanan, artinya belok ke kanan, dan lain – lain.
Demikian halnya juga ketika membaca alam raya ini yang disebut dalam al-Qur‘an sebagai petunjuk (tanda-tanda) dan simbol-simbol dari Allah, sebagaimana ayat-ayat di dalamnya, maka kegiatan mempelajari, meneliti dan mengajarkan pelajaran sains alam tidak boleh hanya dipahami sebagai sesuatu yang tersediri, seolah keberadaanya berdiri sendiri “science for the sake of science”, tapi makna di sebalik alam raya inilah yang jauh lebih penting yakni Penciptanya. Dengan demikian kegiatan mempelajari alam, tujuan akhirnya adalah mengenal Allah SWT (ma‘rifatuLlah), yang harus dipandu dan dinaungi oleh kitab Allah yang lain, yakni al-Qur’Én.
Pandangan Islam tentang sains, dan adanya keselarasan atau kesepadanan antara kitab yang diturunkan dengan kitab ciptaan akan memberikan dampak dan akibat, baik secara teoretis maupun praktis, terhadap tujuan utama pendidikan dan pembelajaran sains dalam suatu masyarakat Muslim. Inilah mengapa para saintis muslim, seperti yang sudah kita ulas di atas, menjadikan aktivitas ilmiahnya sebagai ibadah, bukan hanya suatu jargon dan basa-basi belaka, namun dilandasi suatu pemahaman mendalam.
Disadur dari Makalah “Sains dan Islam: Sejarah, Konsep, dan Masa Depan”, Oleh: Mohamad Ishaq (Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, PIMPIN), Disampaikan dalam acara Muslim Scientist Institute : Restorasi Kejayaan Ilmuan Muslim, ITB Bandung April 2011, dengan tambahan.